16.9.15

Secangkir Kopi Hangat

Hari ini kamu seperti secangkir kopi hangat. Membuatku terbangun saat kantuk melanda, kafein mengguncang menimbulkan sensasi baru seolah aku tidak diizinkan lagi merasakan kantuk itu. Beratnya mata yang ingin terpejam dihalau oleh rasa lain yang menuntut untuk dipuaskan. Rasa lain yang sebenarnya aku tidak ingin merasakannya secara berlebihan. Seperti kopi, tidak akan bermanfaat lagi jika dicandui dengan cara yang salah, berlebihan.

Aku hanya penasaran, atau khawatir lebih tepatnya. Aku khawatir jika saja kita tidak bisa lagi senikmat dan sehangat kopi bagi penikmatnya. Karena, oleh dinginnya cuaca tidak akan menutup kemungkinan bahwa kopi itu akan ikut mendingin sedingin embun, atau bisa saja kopi itu menjadi sangat nikmat ditengah dinginnya cuaca itu, hangat. Maka tetaplah menjadi kopi hangatku, membuatku terjaga karena aku yang menginginkannya, membuatku bersemangat menyelesaikan persoalan yang menuntut untuk diselesaikan, membuatku menjadi lebih baik. 

Akan tetapi sepertinya aku keliru. Kamu lebih istimewa dibandingkan dengan secangkir kopi hangat. Kamu bisa membuatku terjaga sekaligus membuatku terlelap damai dan dalam. Kamu yang membuatku terjaga karena kekhawatiran akan kita. Serta merta kamu pula yang menyelamatkanku untuk menutup hariku dengan kasih sayangmu yang menyejukkan. Kamu penghancur dan pengobatku. Istimewanya kamu. 

Aku memilih mencanduimu, tidak dengan secangkir kopi hangat lagi. 



9.9.15

Senja Cintaku



Tidak akan mudah melepasmu. Apa aku harus? Aku tidak akan terbiasa, tidak akan pernah bisa. Dalam senja kau dan aku akan saling merindu namun terpisah keadaan. Biasakah kita seperti ini? untuk sementara waktu tentu saja bisa, berkepanjangan pasti saja tidak akan terbendung lagi. Aku hanya berharap bersama, tidak harus selalu indah walaupun sebenarnya sudah tercipta indah seperti ini.

Aku memimpikan titik temu yang akan menjadi penghubung dari bulir-bulir doa yang selama ini aku utarakan. Doa yang setiap hari kusebut, dimana-mana dan kapan saja sehingga tidak akan luput dari ingatan. Aku tahu pasti apa yang kuinginkan, yang Maha Mengetahui-pun tentu saja mendengarnya. Kepingan yang berserakan jauh harus disatukan dalam satu cawan yang akan menyatukan harapan, impian, dan doa. Aku menginginkan jalan keluar.

Ada apa dengan hatiku kini? Aku menjadi lemah. Lemah karena mencintaimu, lemah karena takut kehilanganmu, lemah karena aku tidak akan pernah sanggup tanpamu. Senja denganmu, akan berbeda dengan senja tanpamu. Aku seperti takut berjalan dalam gelap walaupun aku tahu kau tak akan melepaskan genggam. 

Salahkah harap ini? Kau sembuhkan hatiku, kau bahagiakan aku, tidak akan kulupakan semua ini. Jangan lepaskan genggammu, aku tidak akan menemukan genggaman sehangat ini. Beritahu aku bahwa aku tidak sendiri memiliki harap ini.

Aku tidak ingin melepasmu. Tidak akan mudah melepasmu. Apa aku harus?


6.9.15

Tuhan, Jogja & Kamu


Aku terlalu mencintai kota ini. Akhirnya aku menyadari dan merasakannya sendiri. Dulu pernah mencibir dan mengolok dalam hati orang-orang yang mengungkapkan kecintaan terhadap kota ini sementara mereka sudah tidak berada di sini lagi. Mereka terlalu mendramatisir, mereka tidak rasional, dan mereka hanya mencari perhatian, itulah yang terbersit saat melihat postingan teman atau alumni yang telah meninggalkan kota ini.

Ternyata karma menemukanku ! aku mendapati diri dalam keadaan yang sama persis tak ada bedanya. Aku tak ingin meninggalkan kota ini, aku terlalu mencintainya serta segala hal yang ada di dalamnya. Aku mencintai Jogja. Jogja kota pertama yang menjadi tujuanku untuk melanjutkan studi setelah SMA. Bukannya aku tak mencintai daerahku sendiri, namun aku merasa seolah ada magnet yang memanggilku untuk menempuh pendidikan di sini. Tuhan menyertaiku selalu. Aku berhasil menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada. Tidak hanya itu, tuhan selalu memudahkan segala urusanku dalam menyelesaikan studi di kota ini. Aku menyelesaikan studi selama 3 tahun dan 6 bulan.

Sekarang waktuku tidak lagi banyak untuk berada di sini. Tidak akan kusembunyikan kesedihan ini, tidak akan kututupi tangisku, aku tidak ingin meninggalkan Jogja. Aku terlalu mencintai Jogja.
Kamu bagian dari cinta itu. Kamu yang menyempurnakan kisahku di kota ini untuk beberapa waktu terakhir. Kamu membuat segala urusanku menjadi lebih ringan, kesedihanku menghilang, dan kebahagiaan selalu ada. Kamu bagian dari cerita indahku di Jogja. Yang kusayangkan, kenapa aku baru menyadari hal ini sekarang? Kenapa Tuhan baru saja memberikan kebahagiaan ini lalu seperti ingin menariknya kembali? Aku tidak akan melupakan kata-katamu “jangan sampai mencintaiku melebihi cintamu kepada Allah”. Ya aku mencintai Tuhanku teramat sangat. Mencintai Tuhan yang menciptakan kamu, kita, dan semua keindahan ini. Aku tidak akan menduakan cintaku untuk Tuhan karena Allah sangat mencemburui umatnya yang mencintai sesama umat manusia melebihi cinta kepadaNya.

Satu hal yang tidak dapat kupungkiri adalah cinta ini sangat besar adanya, aku tidak bisa menghalanginya tumbuh hari demi hari. Aku menahannya, namun seperti aku mematahkan pohon yang baru saja tumbuh subur, menyedihkan dan sia-sia. Tentu saja sia-sia karena akarnya sudah menancap kuat dan akan bertahan dengan manumbuhkan pohon yang lebih kuat. Aku mencintaimu. Aku mencintai Jogja. Aku mencintai Tuhan yang menciptakan semua ini. Jangan patahkan rasaku, aku sudah menanamnya dengan baik, tidak akan mudah mematikannya.

Jika tidak ada kamu, mungkinkah aku bisa meninggalkan kota ini tanpa keberatan? Tanpa kesedihan seperti ini? Atau kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah?

FELLYCIOUS FOLLOWERS ♥